A. Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang
berarti meminjamkan.
Dalam istilah ilmu fiqih, para
ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan
dua definisi yang berbeda. Ulama hanafiyyah[1] dan malikiyyah[2] mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
تمليك منفعة مؤقتة بلا عوض
“Menyerahkan kepemilikan manfaat
(suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa imbalan.”
Sedangkan ulama Syafi’iyyah[3],
Hanbilah[4] dan Zahiriyyah[5], mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
إباحة الانتفاع بما يحل الانتفاع
به مع يقاء عينه بلا عوض
“Izin menggunakan barang yang
halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wujudnya tanpa
disertai imbalan.”
Masing-masing dari kedua definisi
di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah
menganggap bahwa ‘ariyah adalah
penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu
artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan
atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik
barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut.
Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah
dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya
sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang
tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada
pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.
B. Hukum Taklifi
‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada
kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam (musta’ir) merasakan manfaat dari
pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak
menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.
Meminjamkan barang juga bisa
menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan darurat sedangkan pemilik barang
tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca
dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga
merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya
hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena
penyakit seandainya tidak dipinjami baju.
Menurut Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada
hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang
kafir.[6]
‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang
dilarang. Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan
kendaraan untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.
C. Syarat Barang Pinjaman
Suatu barang menjadi sah untuk
dipinjamkan sebagai ‘ariyah,
jika memenuhi dua syarat berikut:
Pertama, barang tersebut bisa
diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau menghabiskannya. Tidak sah
disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan
adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya.
Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh.
Kedua, barang yang dipinjamkan
merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan
yang diharamkan.
D. Hak dan Kewajiban Peminjam
Ketika seseorang meminjam barang
sedangkan pemiliknya tidak memberikan batasan-batasan atau ketentuan tertentu
dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh memakai barang tersebut untuk keperluan
apa pun yang dibenarkan secara ‘urf (kebiasaan).
Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa pun selama
penggunaannya masih dalam batas kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah fiqih[7]:
المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً
“Sesuatu yang dianggap sebagai
kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”
Contohnya, seseorang meminjam
mobil sedan kepada temannya. Selama temannya itu tidak memberikan batasan atau
ketentuan pemakaian, si peminjam boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun,
selama itu dianggap sebagai pemakaian wajar. Contohnya dipakai untuk
jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.
Tetapi peminjam tidak boleh
menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut beras misalnya, atau mengangkut
hewan qurban. Karena, secara ‘urf
hal tersebut sudah keluar dari batas kewajaran.
Jika pemilik barang memberikan
syarat atau batasan-batasan tertentu dalam pemakaian barangnya, maka peminjam
harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik mobil
hanya memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau
selama dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi apa
yang disyaratkan oleh pemilik barang.
E. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman
Kapankah pemilik boleh mengambil
kembali barangnya yang dipinjam? Apakah boleh mengambil sewaktu-waktu, atau
hanya boleh mengambil pada waktu yang sudah disepakati? Dalam hal ini para
ulama terbagi ke dalam dua pendapat.
1. Pendapat Pertama
Ulama dari kalangan Hanafiyyah[8], Syafi’iyyah[9], Hanabilah[10] dan Zhahiriyyah[11] memandang bahwa pemilik barang
boleh meminta barangnya dari peminjam kapan pun dia mau. Dengan syarat tidak
menimbulkan mudarat bagi si peminjam.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan Malikiyyah[12] berpendapat, pemilik barang tidak
boleh meminta barangnya kecuali setelah jangka waktu yang telah disepakati.
Atau setelah jangka waktu yang sewajarnya, jika tidak ada ketentuan berapa lama
batas waktu peminjaman dari pemilik barang. Atau setelah barang pinjaman
tersebut selesai digunakan untuk keperluan peminjam.
Malikiyyah mendasari pendapatnya
ini dengan perintah untuk melaksanakan akad atau perjanjian yang telah
disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat al-Maidah ayat 1 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu.”
Juga atas dasar sabda Nabi
Muhammad ﷺ:
المسلمون عند شروطهم
“Muslim itu terikat dengan
syarat-syarat (yang disepakati di antara mereka).”[13]
F. Barang Pinjaman Rusak, Apakah Peminjam Wajib Mengganti?
Dalam kitab-kitab fiqih, para
ulama mengaitkan masalah ini ke dalam pembahasan tentang status peminjam dalam
kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah)
apakah sebagai yad amanah atau yad dhaman.
Yad amanah adalah pihak yang berstatus hanya sebagai pemegang amanah dari
pihak lain. Di mana jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada amanah yang
dipegangnya, dia terlepas dari tanggung jawab untuk mengganti selama hal
tersebut tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya.
Sedangkan yad dhaman adalah pihak yang
berstatus sebagai penjamin terhadap barang milik orang lain. Di mana jika
terjadi kerusakan atau kehilangan --apa pun alasannya-- dia bertanggung jawab
atas barang tersebut.
Dalam kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah), para ulama berbeda
pendapat, apakah peminjam berlaku sebagai yad
amanah atau yad
dhaman.
1. Hanafiyyah, Riwayat Marjuh dari Imam Ahmad & Zahiriyyah
Kelompok pertama yang diwakili
oleh ulama dari kalangan Hanafiyyah[14], Zahiriyyah[15] dan riwayat marjuh dari Imam Ahmad[16] berpandangan bahwa peminjam berlaku
sebagai yad amanah.
Sehingga, jika terjadi sesuatu
pada barang pinjaman, peminjam tidak berkewajiban untuk mengganti barang
tersebut. Selama tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya sendiri
atau peminjam menolak untuk mengembalikan ketika diminta oleh pemilik barang.
Landasan pendapat ini adalah
hadis riwayat ad-Daruquthni[17]:
ليس على المستعير غير المغل ضمان
“Peminjam yang tidak
berkhianat tidak wajib menjamin/menanggung kerusakan (barang pinjaman).”
Juga secara logis, Malikiyyah
berpendapat bahwa peminjam sudah mendapatkan izin yang sah untuk menggunakan
barang pinjaman dari pemiliknya, sehingga peminjam tidak berkewajiban untuk
menanggung kerusakan atau kehilangan yang tidak disebabkan oleh kesalahan
peminjam. Sebab pada umumnya setiap barang itu akan mengalami kerusakan jika
dipakai berulang-ulang.
2. Syafi’iyyah dan Pendapat Rajih dari Imam Ahmad
Sedangkan kelompok kedua yang
diwakili oleh ulama Syafi’iyyah[18] dan pendapat rajih dari Imam Ahmad[19] memandang bahwa peminjam berlaku
sebagai yad dhaman. Itu artinya,
peminjam wajib bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada barang pinjaman
dalam kondisi apa pun. Tidak peduli apakah disebabkan oleh kelalaiannya atau
bukan.
Dalil pendapat kedua ini adalah
hadis berikut ini[20]:
عن أمية بن صفوان، عن أبيه - رضي
الله عنه - : أن النبي -صلى الله عليه وسلم- استعار منه أدراعه يوم حنين ، فقال :
أغصبا يا محمد؟ قال "بل عارية مضمونة "
“Dari Umayyah bin Shafwan, dari
ayahnya r.a bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ meminjam tameng darinya
pada waktu perang Hunain, kemudian ia berkata, “Apakah engkau mengambilnya
begitu saja wahai Muhammad?”, Nabi berkata, “Tidak, melainkan ini menjadi
pinjaman yang dijamin (kembali).”
Dalam hadis di atas Nabi
menyatakan bahwa pinjaman itu dijamin oleh beliau, sehingga dipahami bahwa
menjamin barang pinjaman merupakan sifat dasar dari ‘ariyah (pinjam-meminjam).
3. Malikiyyah
Ulama Malikiyyah[21] membedakan jenis barang yang
dipinjam. Jika barang pinjaman itu berupa barang yang bisa disembunyikan (ما يغاب عليه)
seperti pakaian dan perhiasan, maka peminjam wajib menjamin segala bentuk
kerusakan atau kehilangan kecuali jika dia bisa menghadirkan bukti bahwa
kerusakan itu bukan akibat kesalahannya.
Sedangkan jika barang pinjaman
berupa barang yang tampak dan tidak bisa disembunyikan seperti rumah atau kios,
maka peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan.
Kecuali jika ada bukti yang menyatakan bahwa kerusakan itu adalah akibat dari
kesalahannya.
Rusak Karena Pemakaian wajar
Yang perlu digarisbawahi ketika
membahas penyebab kerusakan barang pinjaman yang menentukan apakah peminjam
wajib mengganti atau tidak, adalah bahwa jika kerusakan barang itu terjadi
karena pemakaian normal, semua ulama sepakat[22] bahwa peminjam tidak wajib
mengganti.
Sebab izin pemilik kepada
peminjam untuk menggunakan barangnya, berarti juga mengizinkan terjadinya
kerusakan akibat pemakaian wajar terhadap barang tersebut.
G. Hukum Menyewakan Barang Pinjaman Tanpa Izin Pemilik
Barang
Bolehkah peminjam menyewakan
barang pinjaman kepada orang lain? Para ulama dalam hal ini terbagi ke dalam
dua pendapat.
1. Pendapat Pertama
Hanafiyyah[23], Syafi’iyyah[24] dan Hanabilah[25] berpendapat tidak boleh peminjam
menyewakan barang pinjaman yang ada padanya kepada orang lain tanpa izin dari
pemilik barang. Hal tersebut untuk menjaga hak pemilik barang agar bisa menarik
barangnya sewaktu-waktu. Sebab dengan disewakan kepada orang lain, barang
tersebut tidak bisa ditarik kecuali setelah selesai masa penyewaannya.
Di samping itu, pada umumnya,
pemilik barang ketika meminjamkan barangnya kepada orang lain, izin untuk
menggunakan barang itu hanya ditujukan bagi si peminjam semata, tidak untuk
orang lain.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan ulama Malikiyyah[26] membolehkan peminjam menyewakan
barang pinjaman kepada orang lain meskipun tanpa seizin dari pemilik barang.
Hal tersebut berdasarkan
pemahaman mereka bahwa ‘ariyah itu
adalah penyerahan kepemilikan manfaat suatu benda (تمليك المنفعة). Sehingga, selama
kepemilikan itu berada di tangan peminjam, dia boleh menggunakannya untuk
keperluan apa pun termasuk untuk disewakan kepada orang lain.
Di samping itu, menurut
Malikiyyah, pemilik barang hanya boleh menarik barang yang dipinjam pada saat
jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan di awal. Sehingga tidak masalah barang
itu disewakan selama belum jatuh tempo.
H. Hukum Meminjamkan Emas
Para ulama sepakat[27], boleh hukumnya meminjamkan emas jika
digunakan untuk perhiasan, atau untuk tujuan pameran dan lain sebagainya.
Selama emas tersebut tidak digunakan sebagai alat tukar yang habis pakai.
Namun, jika emas tersebut dipakai
sebagai alat tukar sehingga emas tersebut tidak lagi berwujud emas yang sama
dengan pada saat dipinjam. Maka itu termasuk qardh.
[1] As-sarakhsi, Al-Mabsuth, hal. 133/11, Ibnu
al-Humam, Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal.
464/7.
[2] Ibnu Juzai, Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hal. 320,
Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, hal. 570/3.
[3] Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, hal. 263/2.
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hal. 220/5.
[5] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal. 164/9.
[6] Lihat: al-Lubab, hal. 201/2, Hasyiyah al-Syarqawi, hal.
91/2.
[7] Lihat: As-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal.
90, Ibnu Najim, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal.
99.
[8] Lihat: Bada’i al-Shana’i, hal. 217/6, Tabyin al-Haqaiq, hal. 84/5.
[9] Lihat: Asna al-Mathalib, hal. 331/2, Mughni al-Muhtaj, hal. 270/2.
[10] Lihat: Al-Mughni, hal. 229/5, Al-Kafi, hal. 273/2.
[11] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal. 168/9.
[12] Lihat: Bidayah al-Mujtahid, hal.
313/1.
[13] Diriwayatkan oleh Abu Daud,
No. hadis: 3594, Ibnu al-Jarud, Al-Muntaqa, 637-638,
Ibnu Hibban, No. 1199, al-Daruquthni, 27/3, dari hadits Abu Hurairah.
[14] Lihat: Al-Hidayah ma’a Takmilah Syarh Fath
al-Qadir, hal. 468/7, Majma’
al-Anhur, hal. 348/2.
[15] Ibnu Hazm, al-Muhalla, hal. 169/9.
[16] Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’, hal.
365/5, Al-Mughni, hal. 341/7.
[17] Sunan
al-Daruquthni, hal. 41/3, hadits ini di-dha’if-kan
oleh Al-Daruquthni sendiri juga oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam
kitab at-Talkhish, hal. 97/3.
[18] Lihat: Al-Hawi, 118/7, Syarh Raudhah at-Thalib, 328/2.
[19] Lihat: Ibnu Muflih, Al-Furu’, 474/4
[20] Musnad Ahmad, No. 27636,
Sunan Abi Daud, No. 3562, Sunan al-Daruquthni, No. 2955.
[21] Lihat: Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi, 407, Bidayah al-Mujtahid, 403/2, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, 320, al-Syarh al-Shaghir, 41-42/5.
[22] Lihat: Al-Hawi, 394/8, Raudhah at-Thalibin, 432/4, Mughni al-Muhtaj, 267/2, Al-Mughni, 165/5.
[23] Lihat: Al-Durr al-Mukhtar, 503/4.
[24] Lihat: Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, 127/7.
[25] Lihat: Asy-Syarh al-Kabir, 180/3, Al-Mughni, 247/7.
[26] Lihat: Syarh az-Zarqani ‘ala Mukhtashsar Khalil, 127/6.
[27] Lihat: Al-Mabsuth, 15/18, al-Bada’i, 207/7, asy-Syarh al-Shaghir, 40/5, Raudhah al-Thalibin, 426-427/4, Takmilah Fath al-Qadir, 296/6, Al-Lubab, 78/2.
x