Silahkan download link dibawah ini
Materi PAI Fikih Muamalah
Sabtu, 23 Januari 2021
Sabtu, 19 Desember 2020
Pemindahan Hutang
A. Ta’rif (definisi) Hiwalah
Hiwalah diambil dari kata tahawwul (berpindah) atau tahwil (pemindahan).
Hiwalah maksudnya adalah memindahkan utang dari tanggungan muhiil (pengutang
pertama) kepada tanggungan muhaal ‘alaih (pengutang kedua). Dalam hiwalah
ada istilah muhiil, muhaal, dan muhaal
‘alaih. Muhiil artinya orang yang berutang,
sedangkan muhaal artinya
pemberi utang, adapun muhaal ‘alaih adalah orang yang yang akan membayar
utang.
Hiwalah merupakan salah satu tindakan yang tidak membutuhkan
ijab dan qabul, dan dipandang sah dengan kata-kata apa saja yang menunjukkan
demikian, seperti “Ahaltuka” (saya akan menghiwalahkan), Atba’tuka bidainika ‘alaa fulaan” (saya akan
pindahkan utangmu kepada si fulan) dsb.
B. Hikmah dan Dalil Disyariatkannya Hiwalah
Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya
karena adanya masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan
dalam bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama,
mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka,
membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ
فَلْيَتْبَعْ
“Menunda membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman dan
apabila seorang dari kalian utangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia
ikuti.”
Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang
mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada
orang yang dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika
pengutang memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi
pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.
Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut
sebagian ulama adalah wajib[1], namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya
sunat.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak
sejalan dengan qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan utang,
sedangkan jual beli utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah
oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena
termasuk jenis pemenuhan hak, bukan termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim
mengatakan, “Kalaupun itu jual beli utang dengan utang, namun syara’ tidak
melarangnya, bahkan ka’idah-ka’idah syara’ menghendaki harus boleh…dst.”
C. Syarat sahnya hiwalah
Syarat sah hiwalah adalah:
1. Si Muhiil dan muhaal (pemberi utang) ridha, tanpa perlu
keridhaan si muhaal ‘alaihi (peminjam kedua).
Hal ini berdasarkan hadis di atas, di samping itu, si muhiil berhak
membayar utangnya dari arah mana saja yang ia mau. Sedangkan adanya keridhaan
si muhaal adalah
haknya ada pada tanggungan si muhiil, sehingga tidak bisa berpindah kecuali dengan
keridhaannya. Namun ada yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan harus ada
keridhaannya, karena bagi muhaal wajib menerima berdasarkan hadis di atas,
di samping itu ia juga berhak meminta dibayarkan haknya baik dari muhil
langsung maupun dari orang yang menduduki posisinya. Adapun tidak ada syarat
ridha bagi muhaal ‘alaih, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyebutnya dalam hadis di atas. Di samping itu, pemberi pinjaman menduduki
posisinya sebagai orang yang menagih haknya, sehingga tidak butuh keridhaan
dari orang yang wajib memenuhi hak. Namun menurut ulama madzhab Hanafi,
Ishtharikhiy dari kalangan madzhab Syafi’I bahwa harus ada syarat ridha juga
dari muhaal ‘alaih.
2. Sama hak yang ditagihnya itu baik jenisnya, jumlah utangnya, jatuh
tempo pembayarannya, bagusnya barang ataupun tidak.
Oleh karena itu, tidak sah hiwalah apabila utangnya berupa
emas lalu dihiwalahkan kepada yang lain dengan mengambil gantinya berupa perak.
Demikian juga apabila utangnya sekarang, lalu dihiwalahkan agar menerimanya
setelah jatuh tempo atau sebaliknya. Demikian juga tidak sah hiwalah apabila
kedua hak berbeda dari sisi bagus dan tidaknya atau salah satunya lebih banyak
daripada yang lain.
3. Si muhaal ‘alaih memang benar-benar menanggung utang, karena
konsekwensinya adalah membebani si muhaal ‘alaih untuk membayar utang sehingga
jika utangnya masih dalam pertimbangan, maka ini berarti siap tidak jadi dan
hiwalah tentu tidak berlaku.
Oleh karena itu hiwalah tidak sah terhadap orang yang belum
membayar barangnya karena masih dalam waktu khiyar dan hiwalah, juga tidak sah
dari seorang anak kepada bapaknya kecuali dengan keridhaannya.
4. Masing-masing hak tersebut diketahui.
D. Apakah Tanggungan Muhiil Lepas
dengan Hiwalah?
Apabila hiwalah telah sah, maka lepaslah tanggungan si muhiil. Tetapi jika
si muhaal ‘alaih bangkrut
atau mengingkari hiwalah atau wafat, maka muhaal tidak dapat menarik apa-apa dari muhiil, Inilah
madzhab mayoritas ulama. Hanyasaja ulama madzhab Maliki berpendapat, kecuali
jika muhiil menipu muhaal dengan
menghiwalahkan kepada orang yang tidak punya. Imam Malik berkata dalam Al
Muwaththa’, “Masalah itu menurut kami yakni tentang orang yang menghiwalahkan
utang kepada yang lain, jika muhaal ‘alaih bangkrut atau meninggal dan tidak
menyisakan harta untuk membayar, maka bagi muhaal (pemberi pinjaman) tidak berhak apa-apa,
dan ia tidak mengambil (utang) dari orang pertama (si muhiil).” Ia
berkata juga: “Masalah ini merupakan masalah yang tidak ada khilaf menurut
kami.”
Sedangkan Abu Hanifah, Syuraih, Utsman Al Batta dan lainnya
berpendapat bahwa ia menagih kepada si muhiil apabila si muhaal ‘alaih meninggal
atau mengingkari hiwalah.
E. Contoh Sarana Hiwalah Masa Kini
Di antara contoh sarana hiwalah di zaman sekarang adalah:
Hiwalah Mashrafiyyah (hiwalah melalui transfer bank).
Suftajah (hiwalah melalui pos seperti wesel).
Keduanya boleh dilakukan karena di dalamnya terdapat
maslahat bagi kedua belah pihak tanpa ada madharat kepada salah satunya dan
tanpa ada larangan syar’i.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa
aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Oleh: Marwan bin Musa
Jaminan
Jaminan merupakan suatu hal penting yang sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai macam kegiatan. Dalam hal ini, jaminan biasanya digunakan ketika seseorang akan melakukan pinjaman atau utang kepada pihak lain. Jaminan ini dapat berupa barang atau surat-surat berharga yang bisa menjamin seseorang untuk melakukan kewajiban pembayaran sesuai dengan perjanjian.
Sebagai suatu hal yang sering
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, ternyata Islam memberikan aturan yang
jelas dalam pasti untuk pelaksanaan jaminan ini. Aturan yang berkaitan dengan
jaminan ini disebut juga dengan kafalah. Dikatakan, kafalah adalah suatu hukum
jaminan dalam Islam untuk menyatukan tanggung jawab penjamin kepada orang yang
dijamin guna menunaikan hak wajib di waktu itu atau masa yang akan datang.
Hukum jaminan atau kafalah ini pun
perlu dipahami dengan baik bagi seluruh umat muslim. Hal ini dilakukan tidak
lain agar setiap kegiatan yang melibatkan jaminan, termasuk utang, dapat
dijalankan dengan baik sesuai syariat Islam. Untuk Itu Anda perlu mengetahui
rukun dan syarat apa saja yang diperlukan dalam pelaksanaan kafalah ini.
Selain itu, juga terdapat beberapa cara pelaksanaan kafalah yang
bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami kafalah dapat dimulai dari pengertiannya terlebih
dahulu. Menurut bahasa kafalah adalah al dhamah yang berarti jaminan, atau
hamalah yang berarti beban, dan za’amah yang berarti tanggungan. Menurut
istilah, kafalah adalah upaya menyatukan tanggung jawab penjamin kepada orang
yang dijamin dalam suatu perjanjian untuk menunaikan hak wajib, baik di waktu
itu atau yang akan datang.
Dalam pelaksanaannya, kafalah akan melibatkan akad atau perjanjian
dari satu pihak ke pihak lain yang disepakati bersama. Akad inilah yang menjadi
pedoman bagi setiap pihak yang terlibat dalam melaksanakan atau menunaikan hak
wajib yang dimilikinya. Selain itu, setiap pihak juga harus mengetahui dan
memenuhi rukun serta syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan pelaksanaan
kafalah.
Rukun Kafalah
Setelah mengetahui pengertiannya,
berikutnya akan dijelaskan mengenai rukun dan syarat dalam kafalah. Rukun dan
syarat ini perlu diketahui dan dipenuhi sebelum Anda melakukan pelaksanaan
kafalah. Terdapat lima rukun ad dhaman atau al kafalah adalah sebagai berikut:
·
Ad-Dhamin
atau al-kafil (orang yang menjamin atau penjamin)
·
Al-Madhmun
lahu atau al-makful lahu (orang yang diberikan jaminan. Contohnya, dalam
kegiatan utang piutang, Al-Madhmun lahu merupakan orang yang memiliki piutang
atau orang yang meminjamkan uang).
·
Al-Madhmun
‘anhu atau al-makful ‘Anhu (orang yang dijamin)
·
Al-Madhmun
atau al-makful (objek jaminan, bianya berupa hutang, uang, barang atau orang)
·
Sighah
(akad/ijab)
Dari beberapa rukun kafalah tersebut,
terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi setiap pihak sebelum melakukan
kafalah. Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam kegiatan kafalah adalah
sebagai berikut :
o
Ad-Dhamin
atau al-kafil : orang yang menjamin atau memberikan jaminan harus memenuhi
syarat baligh, berakal, merdeka atau beas dalam pengelolaan harta bendanya.
Dengan begitu, anak-anak dan orang dengan gangguan jiwa tidak bisa menjadi
penjamin dalam kegiatan kafalah.
o
Al-Madhmun
lahu atau al-makful lahu : orang yang diberikan jaminan atau memiliki piutang
harus diketahui oleh orang yang memberikan jaminan. Selain itu, harus diketahui
pula bahwa setiap manusia itu tidak sala, ada yang keras dan ada yang lunak
dalam cara menuntut jaminan.
o
Al-Madhmun
‘anhu atau al-makful ‘Anhu : atau orang yang dijamin, biasanya tidak
disyaratkan untuk rela terhadap penjamin, namun jika rela akan lebih baik.
Dengan begitu, kerelaan orang yang dijamin bukan syarat wajib yang menentukan
sah tidaknya akad jaminan yang dilakukan
o
Al-Madhmun
atau al-makful : yaitu utang yang berupa barang atau orang. Syarat untuk barang
atau orang yang menjadi objek jaminan adalah dapat diketahui dan sudah
ditetapkan. Dengan begitu, akan tidak sah ketika objek jaminan tidak diketahui
dan belum ditetapkan sebelumya, karena hal ini dimungkinkan bisa berupa gharar
atau tipuan.
o
Sighah :
akad yang dilakukan oleh penjamin, syaratnya mengandung makna menjamin, tidak
digantungkan pada sesuatu atau tidak berarti sementara.
Cara Pelaksanaan Kafalah
Setelah mengetahui rukun dan syaratnya, berikutnya akan dijelaskan
bagaimana cara pelaksanaan kafalah dalam Islam yang baik dan benar. Dalam hal
ini, kafalah dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu munjaz, mu’allaq, dan
mu’aqqat. Beberapa cara pelaksanaan kafalah adalah sebagai berikut :
1. Munjaz
Munjaz yaitu tanggungan yang ditunaikan dengan seketika atau saat
itu juga. Misalnya, ketika seseorang berkata “saya tanggung A dan saya jamin A
sekarang.” Jika akad ini terjadi, maka jaminan akan mengikuti akad utang.
Apakah harus dibayar saat itu juga atau dicicil sesuai dengan akad yang
dilakukan.
Kafalah jenis ini merupakan jaminan mutalk yang tidak dibatasi
oleh jangka, baik untuk kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu contoh
kafalah munjaz adalah berupa pemberian jaminan dalam bentuk jaminan prestasi
seperti yang biasa dilakukan dalam kegiatan perbankan.
2. Mu’allaq
Mu’allaq merupakan kegiatan menjamin sesuatu dengan dikaitkan
dengan sesuatu. Hal ini bisa terjadi seperti saat seseorang berkata “Jika kamu
memberikan hutang kepada anakku maka aku yang akan membayarnya” atau “Jika kamu
ditagih A maka aku yang akan membayarnya”.
3. Mu’aqqat
Mu’aqqat yaitu tanggungan atau hak yang harus dibayar dengan
dikaitkan pada waktu tertentu. Jenis akad ini contohnya terjadi saat seseorang
berkata, “Bila ditagih pada bulan Ramadhan maka aku yang menanggung pembayaran
utangmu.” Dalam hal ini, menurut mahzab Hanafi biasanya dikategorikan sebagai
kafalah yang sah, sedangkan menurut mahzab Syafi’i batal atau tidak sah.
Gadai
Gadai berasal dari bahasa arab Al-rahn yang berarti tetap ( Al-tsubutwa Al-dawam ), misalnya kata ma'rakib artinya air yang tergenang. Disebut tetap karena barang gadai ada pada pemberi pinjaman hingga utang dibayar. Gadai berarti jaminan utang, gadaian, barang yang di gadaikan, hipotek, atau Al-habs ( penahanan) yaitu menahan alah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. (Mahmud'Abd. Al-rahman'Abd Al-mun'im, mu'jam Al-musthalahat wa al-alfazh al-fiqhiyah, juz II ( kairo : dar Al-fadhilla, 2008 : 189 )
Ayat terebut memrintahkan kepada siapa saja yang menggadakan
perjanjian degan orang lain dan tidak memperoleh seorang penulis yang dapat
dijadikan kepercayaan atau jaminan, hendaknya barang yang menjadi jaminan (
yang di gadaikan ) dierahkan kepada pemberi utang agar pemilik uang dapat
tenang dan menjaga agar orang yang berutang sanggup membayar utangnya. ( Nasrun
Haroen, fiqh Muamalah, 253 )
Rasulullah ,menggadaikan baju besinya karena keadaan ekonominya
saat itu masih kesulitan padalah tanggungannya sangat banyak. Ketabahan
rasulullah, banyak diteladani sampai-sampai ia menggadaikan baju besinya untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya.
Menurut para ulama berepakat tentang kebolehan gadai dan tidak ada yang berbeda
pendapat diantara mereka karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya
dalam rangka hubungan antar manusia.
Para ulama fikih sepakat bahwa gadai boleh dilakukan kapan saja
dalam keadaan hadir ditempat asal barang jaminan itu atau tidak bisa langsung
dikuasai atau di pegang ( Al-qabdh ) secara hak oleh yang memberi utang yang
selanjutnya disebut preditur karena tidak semua barang jaminan dapat dikuasai
oleh kreditur sacara langsung maka paling tidak ada sejenis pegangan yang dapat
menjamin bahwa barang gadai dapay dijadikan sebagai jaminan utang. Misalmya
jaiminan itu berbentuk sebidang tanah dan mereka yang kuasai adalah surat tanah
itu.( Sayyid sabiq, fiqh sunna, juz3, 132 )
Menurut Ahmad Azhar Basyir,rukrun dalam perjanjian gadai adalah :
Orang yang menyerahkan barang gadai (rahin)
Orang yang menerima barang gadai (murtahin)
Barang yang di gadaikan (marhun)
Shighat akad
(Ahamad Azhar Basyir ,hukum islam tetang riba, utang - piutang dan gadai, (
Bandung : PT Al-Ma'arif, 1983 : 50 )
Menurut al-jaziri,rukun gadai ada macam 3 yaitu
Aqid (orang yang melakukan akad ) yang terdiri dari rahin (orang
yang berutang dan menggadaikan barang) dan murtahin (pihak yang piutang yang
menerima barang gadai sebagai jaminan uang yang dipinjamkan)
Ma'qud alaiha (yang diakadkan) yang terdiri dari marhun (barang
yang digadaikan) dan Marhun bih (utang yang karenanya diadakan gadai)
Shighat (akad gadai)
''abd Al-rahman Al-jaziri, kitab Al-fiqh 'Ala madzahib Al-arba'ah,
(birut : dar Al-qutub Al-ilmiyah, 2008 : 165 )
Gadai adalah aktifitas transaksi harta sebagaimana jual beli. Maka
wajib menjaga syarat-syarat pada dua orang yang berakad gadai sebagaimana pada
dua orang yang berakad jual beli. Karena itu, disyaratkan bagi dua orang yang
berakad gadai agar berakal dan tamyis sehingga tidak akad gadai oleh orang gila
an anak kecil atau orang yang belum bisa membedakan sesuatu dengan yang lain.(
Wahbah Al-suhaili, Al-fiqh Al-islami, juz v,185) Syarat ahliya dalam gadai
menurut selain ulama hanfiyyah sama dengan syarat kecakapan jual beli dan
perbuatan hukum yang lain. Karena itu gadai tidak sah dilakukan oleh orang yang
dipaksa, anak kecil yang belum baligh, orang khilaf, bodoh,dan orang
bangkrut.
Orang yang dibawah pengampunan dengan alasan dungu (ghaflah) atau
pemboros (safah) hukumnya seperti mumayis tapi tindakan-timdakan belum mencapai
umur baligh diperlukan izin walinya. Bagi yang dibawah pengampunan diperlukan
izin pengampu. Apabila wali atau pengampu tidak mengizinkan, maka perjanjian
gadai itu batal.( Wahbah Al-suhaili, Al-fiqh Al-islami, juz v,185 )
Apabila pemilik barang mengizinkan memegang jaminan untuk
memanfaatkan barang jaminan itu selama di tangannya, maka tidak ada halangan
bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang tersebut.Akan tetap,
sebagaian ualama Hanafiyyah lainnya.Ulama malikiyah dan ualama syafi`iyah
berpendapat sekalipun pemilik barang itu mengizinkan,pemegang jaminan itu tidak
boleh memanfaatkan barang jaminan tersebut karena apabila barang jaminan itu di
manfaatkan , maka hasil pemanfaatannya itu merupakan riba yang di larang
syara.( Nasrun Haroen,fiqh Muamalah, hlm.257.
Akad gadai ber tujuan meminta kepercayaan dan menjamin utang bukan
mencari keuntungan dan hasil . selama ini hal itu menjamin utang bukan menacari
keuntungan dan hasil. Selama hal itu demikian keadaannya, maka orang yang
memegang gadai (murtahin) yang memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qirabh
(utang-piutang) yang mengalir manfaat yang oleh nabi disebut riba. ( Sayyit
sabiq ,fiqh sunah, jilid III, 153).
Manfaat barang gadai adalah milik pemberi gadai (rahim). Demikian
pula sesuatu berada dilamnya. Misalnya anak binatang dan menjadi barang gadai
bersama indukya. Termasuk dalam kategori bulu dan susu dan bulu binatang dan
buah suatu pohon yang digadaikan. (Ali hasan, zakat, pajak,asuransi,dan lembaga
keuangan (jakarta : PT radja gravindo persada, 1997 : 84)
Menurut hukum islam waktu dalam perjanjian gadai, jiak telah jatuh
tempo membayar utang,pemilik barang gadai (rahin) wajib melunasimnya dan
penggadai (murtahin) wajib menyerahkan barangnya dengan segera. Jika penggadai
tidak mampu melunasi utangnya,maka barang gadai itu dijual untuk menutupi
utangnya.
Jika dia tidak rela menjual barang gadai, maka hakim dapat
memaksanya untuk melunasi utangnya atau menjual barang gadai. Kelebihan hasil
penjualan barang gadai diserahkan kepada pemilik asalnya,jika masih ada sisa
utang,maka hal itu masih tetap menjadi tanggungannya.( Hamzah ya'qub, kode etik
dagang menurut islam, (bandung : diponegoro, 1994 : 220 )
Menurut Ahmad Azhar Basyir,apabila pada waktu yang telah ditentukan
karena kesulitan yang dialami, rahin belum juga membayar utangnya padahal
murtahin bener-bener memerlukan kembali piutangnya, maka ia dapatmemindahkan
baraf gadai kepadamurtahin lain denga seizin rahin. Hal ini dimaksudkan
agarkeeprluan murtahin dapat terpenuhi dandalam waktu yang sama rahin dapat
kelonggaran tegangan waktu.
Bila batas waktu pelunasan yang disepakati telah jatuh tempo barang
jaminan dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin, pembebasan utang
dengan cara apapun meskupun dengan pemindahan oleh murtahin,pembatalan oleh
murtahin,meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin ,rusaknya barang gadai
tanpa sebab dan memanfaatkan barang rahin dengan penyewaan,hibah,atau sedekah
baik dari pihak rahin maupun murtahin.
Mahmud`abd.al-rahman `abd al-mun`im, mu`jam al-musthalat wa al-alfazh
al-fiqhiyyah,juz II (kairo: Dar al-fadhilah,2008 M.)Nasrun haoen, fiqh
muamalah(Jakarta : Gaya media pratama,2000M.)Abd al-rahman al-jaziri, kitab al-fiqh
`ala madzahib al- arba`ah(beirut: dar al-kutub al-ilmiyah, 2008M.)Syams al-din
muhammad ib muhammad al-syarbini,mughni al-muhtaj ila ma`rifah ma`ani alfazh
al-minhaj, juz II(beirut: dar al-kutub al-ilmiyah,2002M.)
Pinjam Meminjam
A. Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang
berarti meminjamkan.
Dalam istilah ilmu fiqih, para
ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan
dua definisi yang berbeda. Ulama hanafiyyah[1] dan malikiyyah[2] mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
تمليك منفعة مؤقتة بلا عوض
“Menyerahkan kepemilikan manfaat
(suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa imbalan.”
Sedangkan ulama Syafi’iyyah[3],
Hanbilah[4] dan Zahiriyyah[5], mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
إباحة الانتفاع بما يحل الانتفاع
به مع يقاء عينه بلا عوض
“Izin menggunakan barang yang
halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wujudnya tanpa
disertai imbalan.”
Masing-masing dari kedua definisi
di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah
menganggap bahwa ‘ariyah adalah
penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu
artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan
atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik
barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut.
Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah
dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya
sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang
tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada
pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.
B. Hukum Taklifi
‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada
kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam (musta’ir) merasakan manfaat dari
pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak
menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.
Meminjamkan barang juga bisa
menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan darurat sedangkan pemilik barang
tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca
dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga
merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya
hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena
penyakit seandainya tidak dipinjami baju.
Menurut Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada
hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang
kafir.[6]
‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang
dilarang. Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan
kendaraan untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.
C. Syarat Barang Pinjaman
Suatu barang menjadi sah untuk
dipinjamkan sebagai ‘ariyah,
jika memenuhi dua syarat berikut:
Pertama, barang tersebut bisa
diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau menghabiskannya. Tidak sah
disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan
adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya.
Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh.
Kedua, barang yang dipinjamkan
merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan
yang diharamkan.
D. Hak dan Kewajiban Peminjam
Ketika seseorang meminjam barang
sedangkan pemiliknya tidak memberikan batasan-batasan atau ketentuan tertentu
dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh memakai barang tersebut untuk keperluan
apa pun yang dibenarkan secara ‘urf (kebiasaan).
Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa pun selama
penggunaannya masih dalam batas kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah fiqih[7]:
المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً
“Sesuatu yang dianggap sebagai
kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”
Contohnya, seseorang meminjam
mobil sedan kepada temannya. Selama temannya itu tidak memberikan batasan atau
ketentuan pemakaian, si peminjam boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun,
selama itu dianggap sebagai pemakaian wajar. Contohnya dipakai untuk
jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.
Tetapi peminjam tidak boleh
menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut beras misalnya, atau mengangkut
hewan qurban. Karena, secara ‘urf
hal tersebut sudah keluar dari batas kewajaran.
Jika pemilik barang memberikan
syarat atau batasan-batasan tertentu dalam pemakaian barangnya, maka peminjam
harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik mobil
hanya memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau
selama dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi apa
yang disyaratkan oleh pemilik barang.
E. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman
Kapankah pemilik boleh mengambil
kembali barangnya yang dipinjam? Apakah boleh mengambil sewaktu-waktu, atau
hanya boleh mengambil pada waktu yang sudah disepakati? Dalam hal ini para
ulama terbagi ke dalam dua pendapat.
1. Pendapat Pertama
Ulama dari kalangan Hanafiyyah[8], Syafi’iyyah[9], Hanabilah[10] dan Zhahiriyyah[11] memandang bahwa pemilik barang
boleh meminta barangnya dari peminjam kapan pun dia mau. Dengan syarat tidak
menimbulkan mudarat bagi si peminjam.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan Malikiyyah[12] berpendapat, pemilik barang tidak
boleh meminta barangnya kecuali setelah jangka waktu yang telah disepakati.
Atau setelah jangka waktu yang sewajarnya, jika tidak ada ketentuan berapa lama
batas waktu peminjaman dari pemilik barang. Atau setelah barang pinjaman
tersebut selesai digunakan untuk keperluan peminjam.
Malikiyyah mendasari pendapatnya
ini dengan perintah untuk melaksanakan akad atau perjanjian yang telah
disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat al-Maidah ayat 1 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu.”
Juga atas dasar sabda Nabi
Muhammad ﷺ:
المسلمون عند شروطهم
“Muslim itu terikat dengan
syarat-syarat (yang disepakati di antara mereka).”[13]
F. Barang Pinjaman Rusak, Apakah Peminjam Wajib Mengganti?
Dalam kitab-kitab fiqih, para
ulama mengaitkan masalah ini ke dalam pembahasan tentang status peminjam dalam
kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah)
apakah sebagai yad amanah atau yad dhaman.
Yad amanah adalah pihak yang berstatus hanya sebagai pemegang amanah dari
pihak lain. Di mana jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada amanah yang
dipegangnya, dia terlepas dari tanggung jawab untuk mengganti selama hal
tersebut tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya.
Sedangkan yad dhaman adalah pihak yang
berstatus sebagai penjamin terhadap barang milik orang lain. Di mana jika
terjadi kerusakan atau kehilangan --apa pun alasannya-- dia bertanggung jawab
atas barang tersebut.
Dalam kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah), para ulama berbeda
pendapat, apakah peminjam berlaku sebagai yad
amanah atau yad
dhaman.
1. Hanafiyyah, Riwayat Marjuh dari Imam Ahmad & Zahiriyyah
Kelompok pertama yang diwakili
oleh ulama dari kalangan Hanafiyyah[14], Zahiriyyah[15] dan riwayat marjuh dari Imam Ahmad[16] berpandangan bahwa peminjam berlaku
sebagai yad amanah.
Sehingga, jika terjadi sesuatu
pada barang pinjaman, peminjam tidak berkewajiban untuk mengganti barang
tersebut. Selama tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya sendiri
atau peminjam menolak untuk mengembalikan ketika diminta oleh pemilik barang.
Landasan pendapat ini adalah
hadis riwayat ad-Daruquthni[17]:
ليس على المستعير غير المغل ضمان
“Peminjam yang tidak
berkhianat tidak wajib menjamin/menanggung kerusakan (barang pinjaman).”
Juga secara logis, Malikiyyah
berpendapat bahwa peminjam sudah mendapatkan izin yang sah untuk menggunakan
barang pinjaman dari pemiliknya, sehingga peminjam tidak berkewajiban untuk
menanggung kerusakan atau kehilangan yang tidak disebabkan oleh kesalahan
peminjam. Sebab pada umumnya setiap barang itu akan mengalami kerusakan jika
dipakai berulang-ulang.
2. Syafi’iyyah dan Pendapat Rajih dari Imam Ahmad
Sedangkan kelompok kedua yang
diwakili oleh ulama Syafi’iyyah[18] dan pendapat rajih dari Imam Ahmad[19] memandang bahwa peminjam berlaku
sebagai yad dhaman. Itu artinya,
peminjam wajib bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada barang pinjaman
dalam kondisi apa pun. Tidak peduli apakah disebabkan oleh kelalaiannya atau
bukan.
Dalil pendapat kedua ini adalah
hadis berikut ini[20]:
عن أمية بن صفوان، عن أبيه - رضي
الله عنه - : أن النبي -صلى الله عليه وسلم- استعار منه أدراعه يوم حنين ، فقال :
أغصبا يا محمد؟ قال "بل عارية مضمونة "
“Dari Umayyah bin Shafwan, dari
ayahnya r.a bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ meminjam tameng darinya
pada waktu perang Hunain, kemudian ia berkata, “Apakah engkau mengambilnya
begitu saja wahai Muhammad?”, Nabi berkata, “Tidak, melainkan ini menjadi
pinjaman yang dijamin (kembali).”
Dalam hadis di atas Nabi
menyatakan bahwa pinjaman itu dijamin oleh beliau, sehingga dipahami bahwa
menjamin barang pinjaman merupakan sifat dasar dari ‘ariyah (pinjam-meminjam).
3. Malikiyyah
Ulama Malikiyyah[21] membedakan jenis barang yang
dipinjam. Jika barang pinjaman itu berupa barang yang bisa disembunyikan (ما يغاب عليه)
seperti pakaian dan perhiasan, maka peminjam wajib menjamin segala bentuk
kerusakan atau kehilangan kecuali jika dia bisa menghadirkan bukti bahwa
kerusakan itu bukan akibat kesalahannya.
Sedangkan jika barang pinjaman
berupa barang yang tampak dan tidak bisa disembunyikan seperti rumah atau kios,
maka peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan.
Kecuali jika ada bukti yang menyatakan bahwa kerusakan itu adalah akibat dari
kesalahannya.
Rusak Karena Pemakaian wajar
Yang perlu digarisbawahi ketika
membahas penyebab kerusakan barang pinjaman yang menentukan apakah peminjam
wajib mengganti atau tidak, adalah bahwa jika kerusakan barang itu terjadi
karena pemakaian normal, semua ulama sepakat[22] bahwa peminjam tidak wajib
mengganti.
Sebab izin pemilik kepada
peminjam untuk menggunakan barangnya, berarti juga mengizinkan terjadinya
kerusakan akibat pemakaian wajar terhadap barang tersebut.
G. Hukum Menyewakan Barang Pinjaman Tanpa Izin Pemilik
Barang
Bolehkah peminjam menyewakan
barang pinjaman kepada orang lain? Para ulama dalam hal ini terbagi ke dalam
dua pendapat.
1. Pendapat Pertama
Hanafiyyah[23], Syafi’iyyah[24] dan Hanabilah[25] berpendapat tidak boleh peminjam
menyewakan barang pinjaman yang ada padanya kepada orang lain tanpa izin dari
pemilik barang. Hal tersebut untuk menjaga hak pemilik barang agar bisa menarik
barangnya sewaktu-waktu. Sebab dengan disewakan kepada orang lain, barang
tersebut tidak bisa ditarik kecuali setelah selesai masa penyewaannya.
Di samping itu, pada umumnya,
pemilik barang ketika meminjamkan barangnya kepada orang lain, izin untuk
menggunakan barang itu hanya ditujukan bagi si peminjam semata, tidak untuk
orang lain.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan ulama Malikiyyah[26] membolehkan peminjam menyewakan
barang pinjaman kepada orang lain meskipun tanpa seizin dari pemilik barang.
Hal tersebut berdasarkan
pemahaman mereka bahwa ‘ariyah itu
adalah penyerahan kepemilikan manfaat suatu benda (تمليك المنفعة). Sehingga, selama
kepemilikan itu berada di tangan peminjam, dia boleh menggunakannya untuk
keperluan apa pun termasuk untuk disewakan kepada orang lain.
Di samping itu, menurut
Malikiyyah, pemilik barang hanya boleh menarik barang yang dipinjam pada saat
jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan di awal. Sehingga tidak masalah barang
itu disewakan selama belum jatuh tempo.
H. Hukum Meminjamkan Emas
Para ulama sepakat[27], boleh hukumnya meminjamkan emas jika
digunakan untuk perhiasan, atau untuk tujuan pameran dan lain sebagainya.
Selama emas tersebut tidak digunakan sebagai alat tukar yang habis pakai.
Namun, jika emas tersebut dipakai
sebagai alat tukar sehingga emas tersebut tidak lagi berwujud emas yang sama
dengan pada saat dipinjam. Maka itu termasuk qardh.
[1] As-sarakhsi, Al-Mabsuth, hal. 133/11, Ibnu
al-Humam, Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal.
464/7.
[2] Ibnu Juzai, Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hal. 320,
Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, hal. 570/3.
[3] Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, hal. 263/2.
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hal. 220/5.
[5] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal. 164/9.
[6] Lihat: al-Lubab, hal. 201/2, Hasyiyah al-Syarqawi, hal.
91/2.
[7] Lihat: As-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal.
90, Ibnu Najim, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal.
99.
[8] Lihat: Bada’i al-Shana’i, hal. 217/6, Tabyin al-Haqaiq, hal. 84/5.
[9] Lihat: Asna al-Mathalib, hal. 331/2, Mughni al-Muhtaj, hal. 270/2.
[10] Lihat: Al-Mughni, hal. 229/5, Al-Kafi, hal. 273/2.
[11] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal. 168/9.
[12] Lihat: Bidayah al-Mujtahid, hal.
313/1.
[13] Diriwayatkan oleh Abu Daud,
No. hadis: 3594, Ibnu al-Jarud, Al-Muntaqa, 637-638,
Ibnu Hibban, No. 1199, al-Daruquthni, 27/3, dari hadits Abu Hurairah.
[14] Lihat: Al-Hidayah ma’a Takmilah Syarh Fath
al-Qadir, hal. 468/7, Majma’
al-Anhur, hal. 348/2.
[15] Ibnu Hazm, al-Muhalla, hal. 169/9.
[16] Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’, hal.
365/5, Al-Mughni, hal. 341/7.
[17] Sunan
al-Daruquthni, hal. 41/3, hadits ini di-dha’if-kan
oleh Al-Daruquthni sendiri juga oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam
kitab at-Talkhish, hal. 97/3.
[18] Lihat: Al-Hawi, 118/7, Syarh Raudhah at-Thalib, 328/2.
[19] Lihat: Ibnu Muflih, Al-Furu’, 474/4
[20] Musnad Ahmad, No. 27636,
Sunan Abi Daud, No. 3562, Sunan al-Daruquthni, No. 2955.
[21] Lihat: Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi, 407, Bidayah al-Mujtahid, 403/2, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, 320, al-Syarh al-Shaghir, 41-42/5.
[22] Lihat: Al-Hawi, 394/8, Raudhah at-Thalibin, 432/4, Mughni al-Muhtaj, 267/2, Al-Mughni, 165/5.
[23] Lihat: Al-Durr al-Mukhtar, 503/4.
[24] Lihat: Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, 127/7.
[25] Lihat: Asy-Syarh al-Kabir, 180/3, Al-Mughni, 247/7.
[26] Lihat: Syarh az-Zarqani ‘ala Mukhtashsar Khalil, 127/6.
[27] Lihat: Al-Mabsuth, 15/18, al-Bada’i, 207/7, asy-Syarh al-Shaghir, 40/5, Raudhah al-Thalibin, 426-427/4, Takmilah Fath al-Qadir, 296/6, Al-Lubab, 78/2.
x
PPT PEMBELAJARAN
Silahkan download link dibawah ini PPT PEMBELAJARAN
-
A. Ta’rif (definisi) Hiwalah Hiwalah diambil dari kata tahawwul (berpindah) atau tahwil (pemindahan). Hiwalah maksudnya adalah memindahk...
-
Jaminan merupakan suatu hal penting yang sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai macam kegiatan. Dalam hal ini, jaminan biasanya d...
-
Silahkan download link dibawah ini PPT PEMBELAJARAN